Search This Blog

Friday, January 28, 2011

Akhwat

Suatu ketika, seorang santri putra bertanya pada Ustadznya: Ya Ustadz, Ceritakan Kepadaku Tentang Akhwat Sejati…
Sang Ustadz pun tersenyum dan menjawab…Akhwat Sejati bukanlah dilihat dari sekedar jilbabnya yang lebar, tetapi dari bagaimana ia menjaga pandangan mata (ghudhul bashar), sikap, akhlak, kehormatan dan kemurnian islamnya….
Akhwat sejati bukanlah dilihat dari kelembutan suaranya, tetapi dari lantangnya ia mengatakan kebenaran di hadapan laki2 bukan mahramnya…..
Akhwat sejati bukanlah dilihat dari banyaknya jumlah sahabat di sekitarnya, tetapi dari sikap bersahabatnya dengan anak2nya, keluarga dekatnya, para jama’ah, para tetangga dan orang2 di sekitarnya.
Akhwat sejati bukanlah dilihat dari bagaimana ia dihormati di tempat ia bekerja tetapi bagaimana ia dihormati di dalam rumah tangganya…
Akhwat sejati bukanlah dilihat dari bagaimana ia pintar berhias dan memasak masakan yang enak2, tapi bagaimana ia bisa faham dan mengerti selera dan variasi makan suami dan anak2nya yang sebenarnya tidak rewel, pintar mengatur cash flow finansial keluarga, mengerti bagaimana berpenampilan menarik di hadapan suami dan selalu merasa cukup (qonaah) dengan segala pemberian dari sang suami di saat lapang maupun di saat sempit.
Akhwat sejati bukanlah dilihat dari wajahnya yang cantik, tetapi dari bagaimana ia bermurah senyum dan sejuk jika dilihat di hadapan suaminya dengan sepenuh hati tanpa dibuat2/dipaksakan.
Akhwat sejati bukanlah dilihat dari banyaknya ikhwan yang mencoba berta’aruf kepadanya, tetapi dari komitmennya untuk mengatakan bahwa sesungguhnya “Tidak ada kata “CINTA sebelum menikah.
Akhwat sejati bukanlah dilihat dari gelar sabuk hitam dalam olahraga beladirinya, tetapi dari sabarnya ia menghadapi lika-liku kehidupan…
Akhwat Sejati bukanlah dilihat dari sekedar banyaknya ia menghafal Al-Quran, tetapi dari pemahaman ia atas apa yang ia baca/hafal untuk kemudian ia amalkan dalam kehidupan sehari2.
….setelah itu, Si Murid kembali bertanya…


“Adakah Akhwat yang dapat memenuhi kriteria seperti itu, Ya Ustadz ?”
Sang Ustadz kembali tersenyum dan berkata: “Akhwat seperti itu ada, tapi langka.
Sekalipun ada, biasanya ia memiliki karakter khas antara lain; Sangat mencintai Allah dan RasulNya melebihi apapun, tidak lepas dari dunia da’wah (minimal di lingkungan sekitar tempat tinggalnya), hidup berjamaah tapi tidak dikenal ‘ashobiyah, tidak ingin dikenal-kecuali diminta/didesak oleh jama’ah (masyarakat), dari keturunan orang2 yang shalih/shalihat, berasal dari lingkungan yang sangat terpelihara, punya amalan ibadah harian, mingguan dan bulanan di atas rata2 orang kebanyakan, hidupnya sederhana namun tetap menarik dan bermanfaat buat orang lain, dikenal sebagai tetangga yang baik hati, sangat berbakti terhadap orang tua, sangat hormat kepada yang lebih tua dan sangat sayang terhadap yang lebih muda, sangat disiplin dengan sholat fardunya, rajin shaum sunnah dan qiyamullail & atau bisa jadi amalan ibadah terbaiknya disembunyikan dari mata orang2 yang mengenalnya, rajin memperbaiki istighfarnya (taubatan nashuha), rajin mendoakan saudara2nya terutama yang sedang dalam keadaan kesulitan atau sedang terdzolimi secara terang2an/tersembunyi, rajin bersilaturahim, rajin menuntut ilmu-mengaji- (terutama yang syar’i)/minimal rajin hadir di majlis ilmu dan mendengarkannya, senantiasa menambah/memperbaiki ilmunya dan menyampaikan semua ilmu yang ia ketahui setelah terlebih dahulu ia mengamalkannya, rajin membaca/menghafal alqur’an atau hadits dan buku2 yang bermanfaat, pintar/kuat hafalannya, sangat selektif soal makanan/minuman yang ia konsumsi, sangat perhatian terhadap kebersihan dan sangat disiplin sekali soal thaharah, sangat terjaga dari soal2 ikhtilat apalagi berkhalwat, jauh dari gosip-menggosip, lisan dan semua perbuatannya senantiasa terjaga dari hal2 yang sia2, zuhud, istiqomah, tegar, tidak takut/bersedih hati hingga berlarut2 melainkan sebentar (wajar), pandai menghibur dan pandai menutupi aib/kekurangan dirinya dan orang2 yang ia kenal, mudah memaafkan kesalahan/kekeliruan orang lain tanpa diminta dan tanpa dendam, ringan tangan untuk membantu sesama, mudah berinfak (bershadaqah), ikhlas, jauh dari riya, ujub, muhabahat, takabur dan tidak emosional, cukup sensitif tapi tidak terlalu sensitif (tidak mudah tersinggung), selalu berbuat ihsan dan muraqobatullah (selalu merasa dekat dan selalu merasa diawasi oleh Allah SWT baik di saat ramai maupun di saat sendirian), selalu berhusnudzon kepada setiap orang, benar2 berkarakter jujur (shiddiiq), amanah dan selalu menyampaikan yang haq dengan caranya yang terbaik (tabligh), pantang mengeluh/berkeluh kesah, sangat dewasa dalam menyikapi problematika kehidupan, mandiri, selalu optimis, terlihat selalu gembira dan menentramkan, hari2nya tidak lepas dari perhitungan (muhasabah) bahwa hari ini selalu ia usahakan lebih baik daripada kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini, dan senantiasa pandai bersyukur atas segala ni’mat (takdir baik) serta senantiasa sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan (takdir buruk) dalam segala keadaan. Kapan pun dan di manapun..
Si Murid rupa2nya masih penasaran, dan bertanya kembali kepada Sang Ustadz. “Ya Ustadz, adakah cara yang paling mudah untuk mendapatkannya? atau minimal bisa mendapatkan seorang Akhwat yang mendekati profil Akhwat Sejati??
Sang Ustadz pun dengan bijak segera menjawabnya: “Ada, jika antum ingin mendapatkan Akhwat Sejati nan benar2 Shalihat sebagai teman hidup maka SHALIHKAN DAHULU DIRI ANTUM…!! karena InsyaAllah Akhwat yang shalihat adalah pada dasarnya juga untuk Ikhwan yang shaalih…

http://yudhim.blogspot.com/2008/12/akhwat.html

Wednesday, December 29, 2010

Ikhwan

Secara harfiah, ikhwan berasal dari bahasa arab –artinya saudara laki –laki. Dan, tentu saja panggilan ini dinisbatkan kepada kaum adam. Jadi secara umum, ikhwan itu artinya laki –laki.

Dalam komunitas muslim, panggilan ikhwan biasanya diberikan kepada seorang laki –laki (of course) yang pemahaman keislamannya lebih baik. Secara kasar, bisa dibilang bahwa ikhwan ini adalah seorang cowok baik –baik yang rajin beribadah. Berat sekali, ya?

Sedangkan cowok, laki –laki atau apapun itu untuk memanggil kaum adam, dinisbatkan pada mereka yang biasa –biasa saja, kaum umum (amah) –kebalikan dari ikhwan tadi.

Pertanyaannya adalah, apakah dengan panggilan ‘ikhwan’ tadi ada jaminan tentang kualitas kepribadian, ibadah dan segala macam kualitas kebaikan yang memiliki nilai lebih dari yang lain?

Seharusnya sih begitu.

Saya berbicara secara subjektif saja. Bagi saya, itu bukan jaminan. Dan banyak orang juga sepakat dengan hal ini. Secara manusiawi, kita bisa mengatakan bahwa tak ada orang yang bisa sempurna dalam segala hal. Begitu juga dengan si ikhwan. Come on, mereka itu laki –laki biasa juga. Bisa marah, bisa kesal, bisa jatuh cinta, bisa melakukan kesalahan fatal, dan kemungkinan –kemungkinan kesalahan lainnya.

Jika ada seorang yang sudah terkenal dipanggil ikhwan, lalu tiba –tiba melakukan kesalahan yang melenceng dari keyakinannya sendiri, maka berkomentarlah semua orang yang sentimen, “sok suci. Apaan, tuh buktinya orang berjenggot yang dipanggil ikhwan juga melakukan bla..bla…”. Maka orang pun sudah tidak percaya lagi.

Panggilan ‘ikhwan’ memang bukan jaminan untuk menilai kebaikan seseorang. Akhir –akhir ini, banyak fenomena yang ironis. Sebuah pertanyaan besar yang mesti di jawab para ‘ikhwan’ ini. Fenomena memilih calon istri, misalnya. Banyak diantaranya yang menentukan kriteria sangat tinggi; kulit putih, tinggi, minimal pendidikan, sholehah tingkat tinggi, dan lain –lainnya yang kebanyakan bersifat physically. Kalau tidak sesuai kriteria itu, langsung mundur. Begitu juga sebaliknya, kaum hawa.

Kita ingin seorang pasangan hidup yang terbaik. Itu manusiawi. Orang tentu ingin yang terbaik, dan berhak untuk menolak jika tidak sesuai keinginannya. Tapi itu kembali kepada niatnya semula, tujuan menikah itu apa sih?

Dan hei, kita ingin seorang pasangan hidup yang sholehah, emang kita sendiri sudah sebaik apa sih? Pasangan hidup kita adalah cerminan diri kita sendiri. Itu rumusnya.

SUMBER : http://ukimedia.wordpress.com/2009/01/22/ikhwan/

Seorang Ikhwan yang Sejati

Seorang remaja pria bertanya pada ibunya:
Ibu, ceritakan padaku tentang ikhwan sejati…
Sang Ibu tersenyum dan menjawab…

Ikhwan Sejati bukanlah dilihat dari bahunya yang kekar, tetapidari kasih sayangnya pada orang di sekitarnya….

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang lantang, tetapi dari kelembutannya mengatakankebenaran…..

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya, tetapi dari sikap bersahabatnya pada generasi muda bangsa …

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia di hormati ditempat bekerja, tetapi bagaimana dia dihormati didalam rumah…

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari kerasnya pukulan, tetapi dari sikap bijaknya memahami persoalan…

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari dadanya yang bidang, tetapi dari hati yang ada dibalik itu…

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari banyaknya akhwat yang memuja, tetapi komitmennya terhadap akhwat yang dicintainya…

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah barbel yang dibebankan, tetapi dari tabahnya dia menghadapi lika-liku kehidupan…

Ikhwan Sejati bukanlah dilihat dari kerasnya membaca Al-Quran, tetapi dari konsistennya dia menjalankan apa yang ia baca…….

Setelah itu, ia kembali bertanya…” Siapakah yang dapat memenuhi kriteria seperti itu,Ibu ?”Sang Ibu memberinya buku dan berkata…. “Pelajari tentang dia…” ia pun mengambil buku itu “MUHAMMAD”, judul buku yang tertulis di buku itu…

SUMBER : http://ukimedia.wordpress.com/2007/11/18/seorang-ikhwan-yang-sejati/

Pacaran

Oleh Shofa

"De, kenapa kamu ga' mau pacaran?" tanyaku pada adikku yang paling bungsu. "Satu, di Islam ga' ada kata pacaran. Dua, pacaran berarti pemborosan waktu, tenaga, dan kapital. Daripada kita sibuk mikirin pacar yang ga' tahu dia mikirin kita apa enggak mendingan tidur atau nonton TV dirumah, atau beli bakso lima mangkok daripada buat hang out sama doi" jawabnya polos, namun membuatku tertegun dan merenung.

Adikku, masih berusia cukup belia 14 tahun kelas tiga es em pe. Teman se-ganknya adalah ABG gaul dan hampir semua temannya punya pacar, ya hal ini memang sudah sangat biasa di masyarakat kita, anak kelas tiga es em pe pacaran. Tapi, dia tetap bertahan dengan prinsipnya untuk tidak pacaran di antara teman se-ganknya yang melegalisasi pacaran, padahal dari sisi tarbiyah keIslaman dia sangat terbatas. Kuliahku di luar kota membuatku jarang sekali berdiskusi dengannya, hanya sesekali saja ketika aku mudik dan itupun tidak lama karena saat mudik pun banyak aktivitas di luar rumah yang harus kukerjakan. Sedangkan kondisi orangtuaku masih jauh dari bi'ah keIslaman. Jauh di hatiku aku salut dan malu padanya.

Aku jadi teringat dengan ikhwah di kampus yang mulai luntur hanya karena seseorang yang menjadi pujaan hatinya yang akhirnya membuatnya gugur di jalan dakwah. Ya, gugur tapi bukan syahid, gugur karena tereliminasi dari medan dakwah karena godaan syahwat. Virus merah jambu, adalah salah satu alasan klasik yang membuat para aktivis dakwah "drop out" dari kampus dakwah. Padahal lingkungan kampus yang kondusif dengan bi'ah keIslamannya, banyaknya ikhwah adalah sarana yang cukup efektif untuk menjaga keistiqomahan, di samping taujih mingguan di lingkaran kecil.

Virus merah jambu, sarana efektif musuh utama dakwah (syaitan) untuk menjegal para mujahid dan mujahiddah. Virus ini tidak hanya menyerang aktivis dakwah baru tapi juga aktivis dakwah dengan jam terbang yang sudah tinggi. Bermula dari koordinasi, saling tausiyah akhirnya pindah ke curhat pribadi dan lama-lama timbul simpati. Menjaga diri dan hati dari pintu-pintu masuknya syaitan adalah sangat penting bagi seorang aktivis dakwah agar ia tidak tergelincir atau pada terjebak pada jurang nasf.

Ibn Qoyyim Al-Jauzy dalam kitab Ad Da' Wa Ad Dawa' mengatakan ada empat pintu maksiat yaitu: pandangan, tutur kata, lintasan hati dan langkah kaki. Jagalah keempatnya, niscaya kita dapat selamat.

Belajar dari adik kecilku, aku merasa malu dan prihatin.Mengapa di antara para penggerak dakwah masih banyak dan seringkali terjadi cinta lokasi alias cinta bersemi sesama aktivis dan berujung komitmen satu sama lain. Ya, apa bedanya dengan pacaran. Apakah tidak malu dengan seorang anak es em pe yang tetap keukeu menjaga prinsip untuk tidak bacaran before married.

SUMBER : http://www.eramuslim.com/oase-iman/pacaran.htm

Emang Akhwat Bisa Jatuh Cinta?!

Oleh Lhinblue

Wah, ngomongin tentang cinta. Akhwat?!Jatuh cinta?! Emang bisa?!

Woi, woi, akhwat juga manusia, akhwat juga bisa jatuh cinta, seakhwatnya akhwat juga punya rasa cinta, benci, suka, dll.

Nih, salah satu contoh percakapan dua orang akhwat:

Nayla: “ras, mau nanya donk!”

Laras: “nanya apa?!“

Nayla: “tapi, kamu jawab yang jujur ya!”

Laras: “iya, emang apa?”

Nayla: “kamu pernah jatuh cinta ga?”

Laras terdiam cukup lama. Sambil berjalan di gang yang tak begitu lebar, Laras menanyakan pada dirinya sendiri: ”Pernahkah aku jatuh cinta?”

Nayla yang berjalan di depan Laras memperlambat langkah agar mereka bisa berjalan sejajar dan Nayla menunggu jawaban dari Laras.

Laras: “iya, pasti-lah pernah!” (bohong, jika ada yang mengatakan tidak pernah jatuh cinta, pikir Laras)

Nayla: “sama ikhwan?! Baru-baru ini?! (Nayla hanya memastikan bahwa sahabatnya itu pernah jatuh cinta dengan ikhwan; akhwat jatuh cinta sama ikhwan!)

Laras: “emmm, mungkin lebih tepatnya kagum! Ya, kagum! Hanya sebatas itu.” (Laras mengoreksi jawabannya. Laras pikir selama ini rasa itu hanya sebatas rasa kagum, gak lebih)

Nayla: “yup! Lebih tepatnya kagum! Aku kira orang kayak kamu gak bisa jatuh cinta!”

Laras: “loh, kenapa kamu mikir kayak gitu?!”

Nayla: “ya, akhwat kayak kamu itu kayaknya gak mungkin punya perasaan apa-apa sama ikhwan, gak mungkin jatuh cinta. Kamu itu kalem, pendiem, berwibawa banget. Ya gak mungkin-lah.”

Laras: “Tapi, nyatanya, aku bisa kagum juga kan sama ikhwan?! Itu mah fitrah kali!”

Yup! Yang namanya kagum, apalagi kagum antar lawan jenis, hal itu mah wajar-wajar aja. Yang gak wajar itu, kalo rasa kagum yang ada pada diri kita malah membuat kita melakukan hal-hal yang gak sepantasnya dilakukan (apaan tuh?!), apalagi oleh ikhwan akhwat loh. Berat euy sandangan ikhwan akhwat itu. Yang ada di pikiran kebanyakan orang nih, yang namanya ikhwan akhwat itu gak nganut yang namanya pacaran. Ikhwan akhwat lebih nganut system ta’aruf sebelum nikah. Gaya pacaran ikhwan akhwat, ya setelah mereka nikah nanti.

Nih, bukti kalo orang umumnya udah nganggap ikhwan akhwat gak nganut system pacaran.

Di sela-sela praktikum ada sebuah kelompok yang isinya perempuan semuanya bahkan asisten laboratoriumnya (aslab) juga perempuan. Saat menunggu campuran di refluks, yang namanya perempuan kalo lagi gak ada kerjaan pasti ngobrol-ngobrol. Nah, di saat-saat menunggu itulah, terjadi sebuah obrolan di antara kelompok itu bersama aslab-nya. Dan yang diomongin sama perempuan ya gak jauh dari laki-laki. Mereka membicarakan tentang pacar mereka satu persatu. Di kelompok tersebut ada seorang akhwat. Nah, ketika semuanya telah bergiliran menceritakan tentang pacarnya, tinggal si akhwat inilah yang belum bercerita. Kemudian akhwat ini bertanya: “Kok pada gak nanyain aku sih?”, dengan gaya sok lugunya.

Sang aslab-pun langsung spontan menjawab: “kalo kamu mah gak usah ditanyain, nanti juga tiba-tiba undangan nyampe di tanganku.”

Ya, itulah pandangan orang pada umumnya tentang ikhwan akhwat yang gak nganut system pacaran.

Lantas, bagaimana sebenarnya kondisi interaksi ikhwan akhwat itu sendiri?! Apakah seperti yang di duga kebanyakan orang pada umumnya?! Akankah interaksi yang dilihat selama ini di luaran sama seperti yang aslinya?!

Banyak orang yang memperhatikan bahwa ikhwan akhwat itu sangat menjaga dalam berinteraksi. Namun terkadang, ikhwan akhwat juga bisa khilaf. Loh kok khilaf?! Maksudnya apa?!

Ada hal-hal yang terkadang sulit dilakukan ikhwan akhwat untuk menjaga interaksi itu. Misalnya nih, pada saat praktikum, akan banyak kemungkinan bagi ikhwan akhwat untuk bersentuhan. Eits, bersentuhan di sini bukan karena di sengaja loh, tapi memang kondisi praktikum yang membuatnya bisa seperti itu. Interaksi seperti ini mungkin masih bisa diwajarkan jika memang tidak bisa dihindari lagi. Tapi kalo masih bisa dihindari, ya di minimalisir.

Ada lagi misalnya, ketika ikhwan akhwat berkecimpung di sebuah organisasi. Entah itu organisasi seperti BEM atau Musholla sekalipun. Adakalanya ketika berinteraksi di BEM misalnya, terkadang sulit untuk menundukkan pandangan atau tidak bercanda secara berlebihan. Hal ini mungkin masih bisa dimaklumi karena kondisinya yang cukup heterogen. Kalo kata seseorang: “ya, jangan kaku-kaku amat!” Tapi, kalo kondisinya lebih banyak orang yang paham akan batasan interaksi, apakah itu diwajarkan?! Dijawab sendiri ya sama diri masing-masing.

Namun akhirnya bukan pembenaran yang muncul dengan kondisi seperti itu. Ikhwan akhwat tetap harus menjaga interaksi. Atau kalaupun akhirnya memang tidak bisa dihindari untuk 'mencair', ya sudah lakukanlah interaksi itu sewajarnya. Ikhwan akhwat aktivis da’wah biasanya punya system pengentalan tersendiri. Tiap orang punya cara yang berbeda untuk ‘mengentalkan’ dirinya kembali.

Misalnya, Rama, seorang aktivis BEM, yang setiap melakukan 'pencairan' dan dia tersadar bahwa dirinya telah melakukan hal 'pencairan' tersebut, dia pun langsung ke sebuah ruangan, shalat dua rakaat. Temannya, Beno, yang melihat hal itu terus menerus heran. Kenapa heran?! Karena waktu itu bukan termasuk waktu dhuha, lantas Rama itu shalat apa? Dengan rasa penasaran Beno pun bertanya kepada Rama yang baru selesai shalat.

“Akhi, ini kan bukan waktu dhuha, dan tempat ini juga bukan masjid, antum shalat apa, dua rakaat? Dhuha bukan, tahiyatul masjid juga bukan.”

“Akhi, sesungguhnya tadi kita telah melakukan 'pencairan', maka ana melakukan pengentalan diri ana dengan shalat sunnah dua rakaat. Agar diri ini tidak melakukan pembenaran atas apa yang barusan kita lakukan.”

Ya, tiap orang punya mekanisme pengentalan tersendiri. Ibarat suatu fluida, jika dia berada di tempat yang sempit atau berada di suatu pipa yang diameternya kecil, maka untuk dapat melewati itu, dia perlu mengurangi kekentalannya, sehingga fluida itupun dapat mengalir dengan lancar. Namun jika memang fluida itu telah berada di pipa dengan diameter yang lebih besar, maka kekentalannya perlu dikembalikan seperti semula agar mengalirnya fluida itu tetap konstan seperti aliran sebelumnya.

Bahkan, ikhwan akhwat yang berkecimpung di Musholla pun tak terlepas dari hal ini. Kadang, walupun interaksi di batasi dengan hijab pandangan, hijab hati belum tentu bisa di jamin. Ingat dulu yuk, firman Allah: “Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati” (QS 64:4).

Ingat! Apa yang tersembunyi dalam hati kita, Allah juga akan mengetahuinya. Bisa saja kelihatan dari luar, interaksi ikhwan akhwat biasa-biasa saja, namun ternyata di balik hatinya atau di balik hijab itu ada ‘sesuatu’ yang aneh dengan interaksi itu. Ya, semoga kita bukan termasuk ke dalamnya. Kalaupun sudah terlanjur berbuat seperti itu maka marilah kita sama-sama mengazamkan dalam diri untuk menjaga interaksi itu.

Ada kasus juga ikhwan yang curhat ke akhwat ataupun sebaliknya. Misalnya saling menganggap saudara sehingga dalam berinteraksi ya layaknya saudara kandung. Memang betul sih, bahwa persaudaraan yang dibangun ‘di sini’ atas dasar keimanan bukan pertalian darah. Walaupun hanya menjadikan tempat curhat dan gak lebih dari sekedar saudara, tapi sebaiknya tetap berhati-hati karena masalah hati gak ada yang tau. Tetap saja, itu bukan mahramnya kalaupun toh mau berakrab-akrab ria. Bisa aja hari ini curhat-curhatan, eh besoknya mulai timbul ‘rasa’ yang berbeda. Curhat berduaan akan menimbulkan kedekatan, lalu ikatan hati, kemudian dapat menimbulkan permainan hati yang bisa menganggu da’wah. Apalagi bila yang dicurhatkan tidak ada sangkut pautnya dengan da’wah. Atau bisa saja si ikhwan menganggap si akhwat sebagai saudara biasa, tapi ternyata si akhwat malah punya pandangan yang berbeda, begitupun sebaliknya. Yang lebih parah lagi nih, kalo orang-orang yang belum paham melihat hal itu, bisa-bisa mereka jadi illfeel sama ikhwan-akhwat. Atau terkadang, orang yang sudah paham pun malah menanggap hal yang nggak-nggak terjadi di antara interaksi itu, VMJ (Virus Merah Jambu), padahal mah tuh ikhwan dan tuh akhwat gak punya perasaan apa-apa, cuma sebatas saudara atau teman biasa. Mungkin ada benarnya juga kalo kita sebaiknya menjaga interaksi dengan lawan jenis, gak hanya berlaku terhadap ikhwan akhwat aja loh. Lebih baik menjaga bukan daripada terjadi fitnah?! Kalo mau curhat, ya utamakan sesama jenis dulu.

Nah, ada satu cerita yang menarik di sini.

Ada ikhwan, sebut saja Hendy yang curhat ke akhwat, sebut saja Mila, melalui SMS. Mereka beraktivitas dalam satu organisasi dan keduanya bisa di bilang aktivis da’wah.

Hendy: “Assalamu’alaykum. Mila, ana merasa bersalah banget neh sama masalah yang kemarin. Itu semua gara-gara ana. Ana tuh sampe gak bisa tidur mikirin masalah itu. Bawaannya grasak-grusuk mlulu.”

Mila gak langsung membalas sms itu. Dia meng-sms Leo yang memang dekat dengan Hendy.

Mila: “Assalamu’alaykum. Leo, tolong hibur Hendy ya, kayaknya dia masih kepikiran sama masalah yang kemarin.”

Mila meminta Leo untuk menghibur Hendy karena Mila tau bahwa Leo adalah teman dekat Hendy dan Leo tau masalah yang Hendy hadapi.

Leo: “Masalah yang mana? Ana barusan mabit bareng Hendy, tapi dia ga cerita apa-apa.”

Mila: “Masalah yang itu bla, bla, bla.”

Mila menjelaskan masalahnya.

Leo: “Ok. Nanti ana coba ngomong ke Hendy.”

Memang begitulah seharusnya ketika ada seorang ikhwan ataupun akhwat yang curhat ke lawan jenisnya, maka tempat yang di curhatin itu seharusnya mengarahkan seseorang, ke sesama jenis, yang merupakan teman dekatnya sehingga si ikhwan ataupun akhwat bisa di tangani langsung tanpa lintas gender. Hal itu lebih menjaga bukan?!

Ada satu cerita lagi tentang ikhwan akhwat yang jarang sekali berinteraksi, namun ternyata keduanya sepertinya ‘klop’. Mereka menyadari hal itu. Si ikhwan punya perasaan sama akhwat, begitupun sebaliknya: masing-masing saling tahu, tanpa harus di nyatakan. Waktu terus berjalan, mereka pun saling memendam perasaan itu hingga akhir bangku perkuliahan usai. Hingga akhirnya, ada yang mengkhitbah si akhwat. Si akhwat pun meminta ijin kepada si ikhwan (aneh!): betapa sakit hati si ikhwan begitu mengetahui si akhwat akan di khitbah ikhwan lain. Akhirnya, akhwat itu pun tetap melangsungkan pernikahan dan membiarkan si ikhwan dalam kesakithatiannya.

Duh, miris sekali ya. Padahal perasaan yang muncul di antara ikhwan akhwat itu tanpa interaksi yang intens.

Ok, yang terpenting adalah kita saling menasehati dengan cara yang terbaik. Kalau ikhwan yang melampaui batas kepada akhwat, akhwatnya harus tegas, demikian pula sebaliknya. Sesama ikhwan dan sesama akhwat juga harus ada yang saling mengingatkan dengan tegas. Ingat! tegas bukan berarti harus marah-marah karena kita tentunya tahu bahwa tak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Semua manusia tak luput dari yang namanya khilaf. Jika memang mengaku bahwa kita bersaudara, maka ingatkanlah! Tegurlah! Jangan biarkan saudara kita terjerembab.

Terkait dengan cinta, sekali lagi diingatkan bahwa akhwat juga bisa jatuh cinta,, ikhwan juga bisa jatuh cinta. Se-ikhwah-ikhwahnya ikhwah, mereka juga manusia yang punya rasa cinta, kagum, suka, dan benci.

Cinta bukanlah tujuan
Cinta adalah sarana untuk menggapai tujuan
Jangan kau sibuk mencari definisi dan makna cinta
Namun kau lalai terhadap Dzat yang menganugrahkan cinta
Dzat yang menumbuhsuburkan rasa cinta
Dzat yang memberikan kekuatan cinta
Dzat yang paling layak dicintai Allah, Sang Pemilik Cinta
Cinta memang tak kenal warna
Cinta tak kenal baik buruk
Cinta tak kenal rupa dan pertalian darah
Memang begitulah adanya
Karena yang mengenal baik buruk, warna dan rupa
Adalah sang pelaku cinta yang menggunakan akal pikirannya
Cinta bukanlah kata benda
Cinta adalah kata kerja
Cinta bukan sesuatu tanpa proses
Cinta itu butuh proses
Jangan mau kau terjatuh dalam cinta
Namun, bangunlah cinta itu
Bangunlah cinta dengan keimanan
Maka kau akan mengorbankan apa saja
Demi meraih keridhaan Sang Pemilik Cinta
Bangunlah cinta dengan ketakwaan
Maka kau tak kan gundah gulana
Ketika kehilangan cinta duniawi
Karna kau yakin Yang kau cari adalah cinta dan ridha Allah
Bukan cinta yang sementara

***

Semoga bermanfaat.Tulisan ini dibuat untuk mengingatkan diri sendiri yang sering lalai dalam menjaga interaksi. Entah itu di dunia nyata maupun dunia maya.

Saling mengingatkan ya!

By: Lhinblue yang sedang berusaha belajar menjaga interaksi di dunia nyata dan dunia maya

***

Kata ikhwan akhwat dalam tulisan ini telah mengalami penyempitan makna, lebih ke arah aktivis da’wah.

http://www.eramuslim.com/oase-iman/lhinblue-emang-akhwat-bisa-jatuh-cinta.htm

Tuesday, November 9, 2010

Mengurus Anak Adalah Investasi

Sulit kiranya menemukan kata yang pas yang dapat menggambarkan apa dan bagaimana itu mengurus anak. Bagi saya, mengurus anak adalah pekerjaan yang paling berat yang pernah saya rasakan, tapi juga paling menyenangkan.

Mendampingi pertumbuhan manusia-manusia yang sedang gencar-gencarnya belajar. Sebuah proses yang panjang, yang sering menghadirkan kepingan-kepingan peristiwa penuh emosi yang kaya makna. Membuat saya tercenung, tertawa, menangis, dan campuran-campuran emosi lainnya. Allohu akbar wa lillahilhamd.

Sekeping peristiwa sore tadi. Anak pertamaku (2th 4 bln) pipis sembarangan. Padahal, sejak setengah jam sebelumnya saya sudah mengingatkan untuk pipis di kamar mandi. Gemas sekali rasanya. Tapi saya tahan untuk tetap terkendali, namun, tetap saya tunjukkan kekecewaan padanya. ”Astaghfirulloh Aa, anak sholih, masa pipis sembarangan, kan Ummun udah ingetin dari tadi. Katanya tadi iya, kalau pipis di kamar mandi..”

Akhirnya saat hendak membersihkan air pipis tersebut, anak kedua saya (Dede, 1th 3bln) yang jalannya masih belum stabil saya simpan di kasur, agar tidak terpeleset saat saya mengepel dan anak pertama (Aa) saya angkat ke kamar mandi.

Nah, agar tidak keluar dan jalan-jalan dengan kaki membawa pipis, pintu kamar mandi saya tutup sambil bilang, ”Aa, Ummun ngepel pipisnya dulu ya, Aa disini jangan keluar.” Bruk. Pintu saya tutup. Tentu kedua batita saya itu menangis sejadi-jadinya. Dede menangis minta turun dari kasur, Aa teriak-teriak minta keluar.

Sepanjang saya mengepel, ada yang berbeda dengan tangis Aa. Bukan tangisan biasa tapi tangis ketakutan di dalam kamar mandi. ”Ummun..Ummun..Aa semut Ummun, Aa kuaah...UMMUUN...UMMMUUUN...” Biasanya tidak demikian, dia hanya menangis sebentar dan kemudian bermain air.

Benar saja, saat saya masuk ke kamar mandi dengan adiknya, dia dibalik pintu sampil mengangkat bajunya, satu tangan mengepal dimasukkan ke dalam baju dan agak diputar di depan dadanya. Kemudian saya tempelkan tangan saya ke dadanya, jantungnya berdebar kencang. Namun, tidak saya dapati semut disekelilingnya. Hmm..entahlah.

Dede saya turunkan dan saya peluk anak pertama saya itu, sambil menjelaskan kenapa ia saya tinggal di kamar mandi dengan pintu tertutup. Ia masih terus saja minta keluar dan jeritnya semakin keras ketika pintu saya tutup. Karena memang mereka hendak saya mandikan. Ia terus saja minta keluar.

Seperti trauma melihat pintu ditutup. Saya terus memeluknya dan menciumnya hingga ia tenang. Saya alihkan dengan menunjuk serangga-serangga kecil yang menempel di dinding kamar mandi. Akhirnya ia tenang dan kembali mengoceh, ”Ih apa itu, Ummun, apa itu?”. Huft...

Child abused, ya inilah kekerasan terhadap anak. Dia sampai ketakutan begitu rupa, memang tidak sepantasnya saya mengurung dia seperti itu di kamar mandi meski dalam waktu yang terukur. Seharusnya saya membersihkan Aa terlebih dulu kemudian memintanya agar tetap di kasur menemani Dedenya.

Kemudian saya membersihkan air pipisnya di lantai. Tadi saya hanya berpikir praktisnya saja, Dede saya simpan di kasur agar tidak terpeleset dan Aa saya simpan di kamar mandi agar tidak jalan-jalan, kemudian setelah selesai mengepel, Dede saya bawa ke kamar mandi dan saya mandikan berbarengan. Ternyata saya keliru. Astaghfirulloh. Semoga sikap buruk saya tadi tidak berefek panjang terhadap kesehatan psikologisnya. Amin.

Ya, mengurus anak dengan baik itu butuh keinsyafan tingkat tinggi. Butuh pengelolaan emosi yang handal. Butuh ketenangan dan kecerdasan, baik kecerdasan emosi maupun kecerdasan taktis strategis. Dan sebagai manusia, tentu saja kita tidak melulu dalam keadaan emosi yang baik, yang stabil. Disinilah seninya saya rasa. Pada titik inilah kecerdasan kita diuji.

Jika kita berhasil melewati waktu-waktu emosional itu dengan solutif maka kecerdasan kita akan naik peringkatnya, namun jika kita menuruti hawa nafsu, kedzolimanlah yang terjadi. Dan rasakanlah bahwa hati segera menjadi keruh dan butuh waktu dan energi yang cukup banyak untuk menjernihkannya. Maka, tahanlah hawa nafsu sedapat mungkin kita mampu. Tetaplah berpikir jernih. Perbanyaklah lafadz istighfar dan ta’awudz.

”Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran TuhanNya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at:40-41).

”Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang dan sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Alloh mencintai orang yang berbuat kebaikan,.”(QS. Ali ’Imran: 133-134)


Menjadi orang tua yang sukses tentu menjadi salah satu jalan kita mendapatkan surga. Dan sudah dari dulu semua tahu, mendapat surga memang tidak murah. Jangankan surga, mau menikmati fasilitas hotel mewah saja harus merogoh kocek lebih dalam kan? Sementara ada makhluk yang tidak akan rela begitu saja saat kita meniti jalan menuju surga.

Merekalah yang senantiasa menghalang-halangi, merekalah yang membuat kita menganggap baik meledaknya amarah kita. Dan jumlah mereka banyak. Jangan turuti langkah-langkah syetan, sesungguhnya merekalah musuh yang nyata. A’udzubilllahiminasysyaithonnirrodzhimi min hamdzihi wanafkhihi wanafsihi.

Namun, jika amarah sudah terlanjur diperturutkan, lengan sang anak sudah kadung biru karena dicubit, jiwa anak sudah terlanjur luka dengan rengkuhan kasar kita, hati mereka sudah tertoreh umpatan dan tatapan kasar kita.

Maka, bersegeralah minta maaf padanya, dengan penuh keikhlasan. Berjanjilah padanya untuk tidak mengulanginya. Mohonlah ampun pada Alloh atas perbuatan kita yang telah menyia-nyiakan amanahNya.

”dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Alloh, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa selain Alloh? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali ’Imran:135)

Senantiasa ingatkan diri kita, betapa marahnya Rasulullullah (salawat dan salam baginya) mendapati sikap kasar seorang ibu. Ketika Ummu Fadhl secara kasar merenggut bayi dari gendongan Nabi (salawat dan salam baginya) lantaran sang bayi pipis dan membasahi pakaian Rasul (salawat dan salam baginya).

Maka Rasululloh shalallahu ’alaihi wassalam menegur,”Pakaian yang basah ini dapat dibersihkan dengan air. Tetapi apa yang dapat menghilangkan kekeruhan jiwa anak ini akibat renggutan yang kasar itu?”

Astaghfirullohal’adzhim. Entahlah, apa yang mampu menghilangkan kekeruhan jiwa mereka. Semoga dengan permintaan maaf yang ikhlas kepada sang anak dan taubat kita kepada Alloh, Allohlah yang akan menyembuhkan jiwa-jiwa suci mereka yang terluka itu. Berazzamlah untuk tidak mengulanginya lagi.

Karena pada jiwa-jiwa itulah kita menitipkan bermiliar-miliar harapan, kita lantunkan jutaan doa. Dan jika Alloh menghendaki, jiwa-jiwa itulah yang mereka bawa dua puluh lima tahun yang akan datang untuk menjadi pribadi dewasa untuk melanjutkan estafet perjuangan ini.

Bertekadlah untuk meluaskan dada kita saat mereka menyulitkan kita, maafkanlah mereka. Karena Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya Alloh merahmati orang tua yang membantu anaknya berbakti kepadanya, kata Nabi saw.. Orang-orang di sekeliling beliau bertanya, ”Bagaimana cara orang tua membantu anaknya, ya Rasulullullah?” Nabi saw. Menjawab, ”Dia menerima yang sedikit darinya, memaafkan yang menyulitkannya, tidak membebaninya, dan tidak memakinya.”

Bersikap lembutlah pada mereka, tidak hanya pada saat mereka menampakkan senyum lucu yang manis, atau ketika ia berceloteh menggemaskan. Dalam keadaan membuat kita susah pun, kelembutan itu tetap ada pada kita.

Sesungguhnya, kelembutan adalah sifat yang dicintai Alloh dan Rasul-Nya. Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Asyaj Abdul Qais,”Sesungguhnya di dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai Alloh, yaitu sifat lembut dan berbudi luhur.” (HR. Muslim)

Dalam hadits yang lain, Rasululloh saw. Pernah bersabda kepad istrinya, A’isyah radhiallahu’anha. Kata Nabi saw., “Wahai A’isyah, milikilah sifat ramah dan kasih sayang karena sesungguhnya apabila Alloh menghendaki kebaikan dalam sebuah penghuni rumah, Allah akan menunjukkan kepada mereka sifat ramah.” (HR. Ahmad).

Berkaitan dengan kasih sayang terhadap anak, Rasululloh menegaskan,
”Sesungguhnya pada setiap pohon terdapat buah dan buahnya hati adalah anak. Sesungguhnya Alloh tidak akan mengasihi mereka yang tidak mengasihi anaknya. Dan demi nyawaku yang berada di tanganNya, tidak akan masuk surga kecuali orang yang memiliki sifat kasih sayang.” (HR Al-Bazzaar)

Sesungguhnya, Alloh tidak akan mengasihi mereka yang tidak mengasihi, begitu Rasulullah saw. memperingatkan kita atas anak-anak yang kita lahirkan. Rasululloh saw. telah memberi contoh tentang bagaimana memperlakukan anak-anak kita.

Acapkali terjadi, Rasululloh turun dari mimbarnya menyongsong al-Hasan dan al-Husain, lalu menggendong dan menciumi mereka seraya mendoakan. Kasih sayang dan perhatian yang besar, juga diberikan kepada putrinya terkasih, Fathimatuz Zahra.

Aisyah menceritakan kepada kita salah satu fragmen kehidupan Rasululloh saw.. Kata Aisyah r.a., ”Tidak ada orang yang paling mirip dengan Rasululloh saw. dalam cara bicara, berjalan, dan duduknya selain Fathimah. Bila Fathimah datang, Rasulullah saw. menyambutnya dengan berdiri. Ia memegang tangan Fathimah dan menciumnya. Lalu didudukkannya di majlisnya.”

Begitu Nabi memperlakukan anak dan cucunya. Rasulullah saw. memperlihatkan kepada kita bagaimana harus memperlakukan anak-anak kita sehingga antara anak dan orang tua bisa terjalin hubungan yang sangat akrab dan mesra.

Di antara persoalan-persoalan pendidikan anak, termasuk kasus-kasus remaja yang melakukan tindakan kriminal, ternyata banyak yang berasal dari kurang mesranya hubungan orang tua dan anak. Na’udzubillahi min dzalik. Semoga kita tidak termasuk mereka yang terlambat dan menyesal di kemudian hari.

Semoga Alloh selalu memberikan kita hidayah taufik. Semoga tidak ada lagi mata yang membelalak ketika anak-anak kita bersuara keras, lantaran memanggil berkali-kali tidak kita sahut dengan baik.

Ya, karena seberapa besar keikhlasan, rasa cinta, dan tanggung jawab orang tua terhadap sang anaklah yang akan menjadi ukuran seberapa besar tabungan kebaikan kita pada mereka, kelak itu pula yang akan kita tuai, di dunia dan di akhirat.

”Bantulah anak-anakmu untuk berbakti. Siapa yang menghendaki, dia dapat melahirkan kedurhakaan melalui anaknya.” (HR. Ath Thabrani). Demikian Nabi saw. menasehati.

Menghasilkan anak yang berkualitas itu bukan perkara mudah sebagaimana menjadi orang tua yang baik juga bukan hal yang gampang.

Namun, bukan hal yang mustahil. Dengan kehendakNya, jika kita mau dan sungguh-sungguh untuk terus belajar dan belajar. Anak adalah hasil orang tuanya. Kernanya, kaki jangan pernah surut ke belakang, sebab masih banyak ilmu yang harus dicari dan masih banyak kearifan yang harus diselami.

Mintalah senantiasa pertolongan Alloh agar Ia memberi kita kemudahan untuk menyediakan atmosfer terbaik untuk tumbuh kembang mereka. Na’udzubillahi min dzalik. Wallohu'alam.

Menjelang Subuh, 29 Syawal 1431, 9 September 2010.

Ummu Mesia (Eva Rahayu); Ibu dari dua putra; Mesia Abdulloh (2th 6bl) dan Utruj Robbani (1th 4bl); Website: muslimahsukses.com


SUMBER : http://www.eramuslim.com/akhwat/muslimah/mengurus-anak-adalah-investasi.htm

Musibah Di Atas Musibah

oleh Ihsan Tandjung

Dewasa ini kita sungguh prihatin menyaksikan bagaimana musibah beruntun terjadi di Indonesia, negeri berpenduduk muslim terpadat di dunia. Belum selesai mengurus musibah dua kecelakaan kereta api sekaligus di awal Oktober, tiba-tiba muncul banjir bandang di Wasior, Irian. Kemudian gempa berkekuatan 7,2 skala richter diikuti Tsunami hebat di kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Lalu tiba-tiba kita dikejutkan dengan erupsi gunung Merapi di Jawa Tengah. Belum lagi ibukota Jakarta dilanda banjir massif yang mengakibatkan kemacetan dahsyat di setiap sudut kota, bahkan sampai ke Tangerang dan Bekasi. Siapa sangka banjir di Jakarta bisa terjadi di bulan Oktober, padahal jadwal tahunan rutinnya biasanya di bulan Januari atau Februari..?

Kita sering heran mengapa kok di negeri berpenduduk muslim paling besar di dunia justeru Allah timpakan bencana secara beruntun dalam rentang waktu yang relatif berdekatan. Apalagi kita sudah diperingatkan bahwa masih ada lagi duapuluh gunung api yang perlu diantisipasi peningkatan aktifitasnya.

"Catatan kita ada 18 gunung yang berstatus waspada, 2 siaga dan 1 berstatus awas," kata Kepala Sub Bidang Pengamatan Gunung Berapi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agus Budianto dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (28/10/2010).

18 Gunung yang berstatus waspada adalah:

1. Gunung Sinabung (Karo, Sumut)
2. Gunung Talang (Solok, Sumbar)
3. Gunung Kaba (Bengkulu)
4. Gunung Kerinci (Jambi)
5. Gunung Anak Krakatau (Lampung)
6. Gunung Papandayan (Garut, Jabar)
7. Gunung Slamet (Jateng)
8. Gunung Bromo (Jatim)
9. Gunung Semeru (Lumajang, Jatim)
10. Gunung Batur (Bali)
11. Gunung Rinjani (Lombok, NTB)
12. Gunung Sangeang Api (Bima, NTB)
13. Gunung Rokatenda (Flores, NTT)
14. Gunung Egon (Sikka, NTT)
15. Gunung Soputan (Minahasa Selatan, Sulut)
16. Gunung Lokon (Tomohon, Sulut)
17. Gunung Gamalama (Ternate, Maluku Utara)
18. Gunung Dukono (Halmahera Utara, Maluku Utara)

Sedangkan 2 Gunung yang berstaus siaga adalah:

1. Gunung Karangetang (Sulut)
2. Gunung Ibu (Halmahera Barat, Maluku Utara)

1 Gunung bersatus awas yakni Gunung Merapi di Sleman, Yogyakarta.

Demikian pula dengan kasus gempa di kepulauan Mentawai yang diyakini oleh para ilmuwan bakal memicu datangnya megathrust (gempa besar). Detikcom (Sabtu, 30 Oktober 2010) mencatat sebagai berikut:

Jakarta- Gempa berkekuatan 7,2 skala richter (SR) versi BMKG dan 7,7 SR versi USGS, yang mengguncang Mentawai pada Senin (25/10) lalu disebut sebagai gempa susulan dari gempa besar pada 12 September 2007 silam. Saat itu, kekuatan gempanya 8,4 SR. Kembali diingatkan juga potensi gempa dahsyat hingga 8,8 SR di sekitar Sumatera beberapa dekade mendatang.

"Dari analisa US Geological Survey dan juga BMKG, gempa ini disebabkan oleh pergerakan patahan pada Sunda megathrust, yaitu pada bidang batas tumbukan LempengHindia-Australia terhadap Lempeng Sunda," ujar Staf Khusus Presiden Bidang Bencana Alam, Andi Arief, dalam rilisnya, Rabu (27/10/2010).

Dituturkan Andi, pusat gempa Mentawai terletak di sebelah barat dari bagian utara sumber gempa September 2007, dan sekaligus juga di ujung utara dari sumber gempa bawah laut -megathrust (gempa besar) yang menurut prediksi para ahli berpotensi untuk mengeluarkan gempa besar hingga kekuatan 8,8 SR di waktu mendatang.

"Dalam beberapa bulan ke depan, tim EOS-LIPI akan menganalisis data dari jejaring alat GPS ini untuk lebih mengerti tentang mekanisme gempa kemarin," kata Direktur EOS, Prof Dr Kerry Sieh.

Pada 15 Oktober 2009, Dr Kerry Sieh menyatakan, gempa bumi kolosal (sangat besar) diperkirakan akan menghantam Pulau Sumatera dalam waktu 30 tahun ke depan. Ahli ilmu bumi memperingatkan bahwa tsunami besar dan gempa bumi mematikan yang terjadi sebelumnya merupakan suatu peringatan.

"Kami memperkirakan akan terjadi dengan kekuatan 8,8 SR, kurang atau lebihnya sekitar 0,1 poin," ujarnya.

Sungguh, hidup di negeri Indonesia dewasa ini kita sangat perlu mencamkan pesan Allah berikut ini:

أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS. Al-A’raf [7] : 99)

Allah mengajarkan kepada kita bahwa perilaku alam sangat berkaitan dengan perilaku kumpulan manusia yang tinggal di lingkungan alam tersebut. Bila masyarakatnya baik di mata Allah, yakni beriman dan bertaqwa, maka Allah akan limpahkan banyak keberkahan kepada masyarakat tersebut dari langit maupun bumi. Tapi sebaliknya, bila mereka mendustakan ayat-ayat Allah, maka Allah akan timpakan hukumanNya kepada mereka melalui beragam bencana yang bisa datang di waktu siang maupun malam hari.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ

Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? (QS. Al-A’raf [7] : 96-98)

Jangan-jangan Allah menilai bahwa masyarakat kita hanya mengaku secara lisan beriman dan bertakwa, padahal sesungguhnya kita sering mendustakan ayat-ayat Allah dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Kaum muslimin di negeri ini boleh banyak jumlahnya, namun yang benar-benar beriman jangan-jangan sangat sedikit. Kita mengaku beriman kepada Allah, tapi kita seringkali gagal menghadapi berbagai ujian yang Allah sodorkan. Sehingga kita tidak dipandang benar dalam pengakuan keimanan, malah kita dinilai Allah dusta dalam pengakuan keimanan. Padahal setiap ujian yang ada dalam hidup ini adalah untuk mendeteksi kemurnian iman seseorang.

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al-Ankabut [29] : 2-3)

Demikian pula dengan ke-taqwa-an yang kita klaim bersemayam di dalam diri kita. Jangan-jangan kita baru bertaqwa yang sifatnya artifisial belum taqwa kepada Allah yang sejati. Padahal setiap menghadiri sholat jumat, kita selalu diperingatkan oleh para khotib untuk bertaqwa yang sebenarnya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali-Imran [3] : 102)

Berbagai bencana yang menimpa masyarakat ini jelas mengakibatkan munculnya berbagai macam musibah. Musibah itu meliputi kehilangan nyawa orang-orang yang dicintai, harta-benda, tempat tinggal dan kenormalan hidup sehari-hari. Jelas ini semua merupakan derita dunia yang sangat berat. Sehingga wajar dan bersyukurlah kita melihat begitu banyaknya fihak yang bersegera mengulurkan tangan dengan memberikan aneka bentuk bantuan. Dan sudah barang tentu bantuan yang paling minim tetapi sekaligus paling bermakna ialah bantuan doa.

Salah satu doa yang Nabi Muhammad shollalahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada kita ialah sebuah doa panjang yang di dalamnya menyebutkan persoalan musibah. Dan sangat menarik untuk dicatat bahwa ternyata jenis musibah yang Nabi Muhammad shollalahu ‘alaihi wa sallam memohon perlindungan Allah dalam menghadapinya ialah musibah yang menyangkut urusan dien (agama).

وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا

.... dan janganlah Engkau (Ya Allah) jadikan musibah kami pada agama kami. (HR. Tirmidzi 3424)

Melalui potongan doa di atas jelaslah bagi kita bahwa Nabi shollalahu ‘alaihi wa sallam sangat mengkhawatirkan bilamana musibah yang datang menimpa berkenaan dengan kemaslahatan urusan dien (agama) kita. Bukan berarti bahwa kita tidak boleh merasa sedih bila kehilangan nyawa orang-orang yang dicintai, harta-benda, tempat tinggal dan kenormalan hidup sehari-hari. Tetapi kita diarahkan untuk lebih khawatir bila musibah yang menimpa sampai menyebabkan kehilangan dalam urusan agama. Jangan sampai kita merasa sedih bila kehilangan berbagai hal yang bersifat duniawi, namun kita tidak sedih dan risau bila kehilangan agama, iman, taqwa atau petunjuk-hidayah ilahi. Sebab pada hakekatnya urusan dien merupakan urusan yang paling berharga dan bermanfaat dalam kehidupan di dunia ini. Agama merupakan harta utama bagi seorang muslim sejati. Jangan sampai kita sedemikian peduli mempertahankan berbagai harta duniawi namun rela kehilangan harta utama, yaitu iman dan taqwa. Bila sampai ini yang terjadi berarti kita telah ditimpa musibah di atas musibah..!

Maka dalam kondisi sekarang yang paling penting diingatkan kepada siapapun, terlebih khusus korban bencana, ialah agar bersabar menghadapi musibah kehilangan berbagai harta dunia sambil mengokohkan iman dan taqwa mereka. Sebab iman dan taqwa merupakan harta utama yang tidak boleh sampai lepas betapapun telah lepasnya berbagai harta dunia.

Belakangan ini media berusaha membangun opini masyarakat bahwa perilaku salah seorang yang telah menjadi korban tewas di saat meletusnya gunung Merapi merupakan tokoh yang patut diteladani. Dialah sang “juru kunci” gunung Merapi. Ia patut diteladani karena kegigihannya menjalankan tugas sebagai kuncen gunung Merapi hingga saat terakhir sehingga rela mengorbankan nyawanya demi menjalankan tugas tersebut. Sampai di sini sesungguhnya masalah telah timbul. Tetapi yang membuat urusan ini menjadi sangat serius ialah tatkala ditemukannya jasad yang bersangkutan dalam posisi “bersujud” kemudian media mulai mengembangkan opini bahwa tokoh ini mati sebagai seorang “muslim yang taat.” Apakah benar demikian? Cukupkah kita menilai seseorang muslim taat dengan ditemukannya fakta ini? Cukupkah ia dinilai sebagai orang soleh hanya berdasarkan fakta bahwa ia rajin sholat tepat waktu?

Seorang yang mengaku muslim tidak boleh dikafirkan semata-mata karena perbuatan maksiat yang telah dilakukannya. Namun bila terbukti bahwa ia terlibat dalam ucapan, sikap atau perbuatan yang tidak bisa tidak diartikan sebagai hal yang menyebabkan dirinya dihukumi sebagai kafir apalagi musyrik, maka adalah suatu kebatilan bila kita tetap menyebutnya sebagai seorang muslim, apalagi muslim yang taat.

Mari kita coba amati kasus juru kunci gunung Merapi. Bagaimanakah keadaannya?

Secara pribadi, penulis tidak kenal dengan beliau. Namun berdasarkan berbagai bukti yang bisa kita saksikan dan baca di media kita memperoleh kesimpulan bahwa profesinya adalah sebagai seorang kuncen. Dan apakah sebenarnya makna tugas sebagai juru kunci gunung Merapi? Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas kita jumpai keterangan sebagai berikut:

Juru kunci Merapiadalah seorang abdi dalem Keraton Yogyakartayang ditunjuk langsung oleh SultanKasultanan Yogyakartauntuk menjaga dan mengelola makhluk halus di wilayah Gunung Merapi. Juru kunci Merapi terakhir adalah Mas Penewu Suraksohargo atau lebih dikenal dengan nama Mbah Maridjan, yang menjabat sejak tahun1983 hingga kematiannya dalam erupsi gunung Merapi di tahun 2010.

Dari detikNews 31 Oktober 2011 kita kutip sebagai berikut:

Legenda Gunung Merapi telah ditinggalkan sang kuncen yang selama 30 tahun telah menemaninya. Lalu seberapa penting arti juru kunci di gunung teraktif di nusantara ini.

"Itu penting banget, kalau tidak ada juru kunci para pendaki tidak akan mendapat informasi tentang gunung yang didaki. Kuncen biasanya memberi tahu apa yang dilarang, jalur pendakian, penyelamatan dan lain-lain," kata mantan mahasiswa pencinta alam, Sandi M, yang saat ini menjadi relawan PMI Kabupaten Sleman, saat berbincang dengan detikcom, di posko utama penanggulangan bencana Merapi di Pakem, Jalan Kaliuran, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (30/10/2010).

Menurutnya, Mbah Maridjan bertugas menjaga gunung dengan cara menerawang dari pengalaman atau 'ilmu titen', dan menggabungkannya dengan firasatnya yang telah terlatih sebagai warga Merapi sejak kecil.

Berdasarkan dua keterangan di atas berarti kita dapat simpulkan bahwa seorang “juru kunci” ialah seorang yang dianggap memiliki pengetahuan mengenai perkara yang ghaib dan alam ghaib. Dan seorang “juru kunci gunung” berarti seorang yang dianggap memiliki pengetahuan mengenai perkara ghaib dan alam ghaib yang terkait dengan gunung tersebut.

Jika kesimpulan ini benar, berarti profesi seorang “juru kunci” identik alias sama dengan profesi seorang dukun. Yang di dalam persepektif ajaran Islam yang paling inti -yaitu Tauhid- merupakan profesi yang sarat dengan dosa syirik dan pelakunya disebut seorang musyrik. Ia telah mempersekutukan Allah dengan sesuatu selain Allah subhanahu wa ta’aala. Pantaslah bilamana kita sering melihat sang juru kunci gunung Merapi melakukan ritual-ritual berupa pemberian sesajen serta menyembah ke arah batu besar tertentu dan lain sebagainya yang mana semua itu merupakan bentuk-bentuk upacara peribadatan lazimnya seorang dukun, paranormal atau panganut aliran kepercayaan. Dan ini semua jelas tidak pernah dicontohkan oleh teladan kita Nabi Muhammad shollalahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan sebaliknya, ini semua merupakan praktek kaum musyrikin yang dengan tegas ditentang dan diperangi oleh beliau.

Ketika mendefinisikan salah satu makna thaghut, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam bukunya Kitabut Tauhid menjelaskan sebagai berikut: “Salah satu makna thaghut ialah orang yang mengaku mengetahui perkara yang ghaib selain Allah.” Bila ada orang yang mengaku mengetahui perkara yang ghaib, maka dia adalah thaghut, seperti dukun, paranormal, tukang ramal atau tukang tenung. Allah berfirman:

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا

“Dialah (Allah), Dzat yang mengetahui perkara yang ghaib. Dia (Allah) tidak menampakan yang ghaib itu kepada seorangpun” (QS. Al-Jin [72] : 26)

Sedangkan konsekuensi ber-Tauhid ialah di satu sisi beriman dengan benar kepada Allah subhanahu wa ta’aala dan di sisi lain dengan tegas mengingkari thaghut, tidak membenarkannya apalagi mengimaninya. Dan barangsiapa yang ber-Tauhid dengan lengkap seperti ini berarti ia telah mengikatkan dirinya dengan tali penghubung yang paling kokoh kepada Allah, Rabb, Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa alam raya beserta segenap isinya.

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا

"Barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus." (QS. Al-Baqarah [2] : 256)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa orang yang mendatangi dukun atau tukang ramal dan dia mempercayainya, maka dia telah kafir. Lalu bagaimana lagi dengan si dukun itu sendiri?

مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Abu Hurairah dan Al Hasan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Barangsiapa mendatangi seorang dukun atau peramal kemudian membenarkan apa yang ia katakan, maka ia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam." (HR. Ahmad 9171)

Demikianlah, sejauh yang kita ketahui juru kunci gunung Merapi menjalankan profesinya hingga maut menjemputnya. Kita tidak pernah mendengar bantahan dari siapapun –apalagi dari dirinya sendiri- bahwa ia pernah ber-taubat atau baro (berlepas diri) dari posisinya sebagai juru kunci. Artinya, hingga saat-saat terakhir hidupnya ia meyakini bahwa dirinya adalah seorang yang memiliki kemampuan mengetahui perkara ghaib seputar gunung Merapi. Dan ini berarti ia tetap keukeuh sebagai dukun, paranormal alias thaghut...! Lantas bagaimana sosok seperti ini layak dijuluki sebagai “muslim yang taat.” Walau jasadnya ditemukan dalam keadaan bersujud sekalipun, ini tidak dapat begitu saja menghapuskan keterlibatannya di dalam dosa yang tidak terampuni, yaitu dosa syirik.

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا إِنْ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ إِلا إِنَاثًا وَإِنْ يَدْعُونَ إِلا شَيْطَانًا مَرِيدًا

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka. (QS. An-Nisa [4] : 116-117)

Seorang muslim hanya dapat menilai berdasarkan apa yang tampak/lahir, sedangkan urusan yang tersembunyi/batin kita serahkan sepenuhnya kepada Allah ta’aala. Jangankan kita yang merupakan manusia biasa, sedangkan Nabi Muhammad shollalahu ‘alaihi wa sallam sekalipun tidak mampu berbuat apapun tatkala mendapati pamannya Abu Thalib di akhir hayatnya mati dalam keyakinan ajaran kaum musyrikin dan enggan menyambut ajakan Tauhid yang diserukan keponakannya. Padahal kita tahu begitu banyak kebaikan yang telah dilakukan Abu Thalib dalam hidupnya, termasuk membela keponakannya pada saat-saat tertentu.

لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي طَالِبٍ يَا عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ (البخاري)

Ketika menjelang kematian Abu Thalib, datanglah Rasulullah shollalahu ‘alaihi wa sallam dan didapati di samping pamannya Abu Jahl bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah. Nabi shollalahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Thalib: “Pamanku, ucapkanlah Laa ilaha illa Allah, suatu kalimat yang aku akan bersaksi di hadapan Allah untuk melindungimu.” Sehingga akhir ucapan Abu Thalib adalah ikut millah Abdul Muthallib dan ia enggan mengucapkan Laa ilaha illa Allah. Maka bersabda Rasulullah shollalahu ‘alaihi wa sallam: “Demi Allah, akan kumintakan ampunan Allah atasmu selagi Allah tidak melarangnya… lalu Allah turunkan At-Taubah ayat 113.” (HR. Bukhary)

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

”Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah [9] : 113)

Sungguh, kita sangat prihatin menyaksikan begitu banyaknya orang yang mengalami musibah akibat berbagai bencana yang terjadi. Mereka terpaksa mengalami musibah kehilangan berbagai harta duniawinya. Kehilangan nyawa dirinya, keluarganya, harta-bendanya, tempat tinggalnya dan berbagai kenormalan hidup lainnya. Tetapi Nabi shollalahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita agar mewaspadai musibah yang lebih hebat, yaitu musibah kehilangan dien (agama) kita. Saudaraku, janganlah kita sedemikian sedih dan emosionalnya sehingga kehilangan kemampuan furqon (membedakan antara al-haq dan al-batil). Janganlah kesedihan kita membuat hilangnya kesanggupan membedakan mana Tauhid dan mana syirik. Sebab Tauhid pasti mendatangkan keberkahan, sedangkan syirik pasti mendatangkan murka dan siksaan Allah. Apalagi jika kita malah mencampur-adukkan antara iman dan kafir. Kita malah mengatakan pelaku kemusyrikan justeru sebagai muslim yang taat. Inilah musibah di atas musibah yang lebih mengerikan. Yang boleh jadi justeru semakin mengundang datangnya lebih banyak bencana lainnya. Wa na’udzubillahi min dzaalika.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqon dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. Al-Anfal [8] : 29)

SUMBER : http://www.eramuslim.com/nasihat-ulama/musibah-di-atas-musibah.htm

Saturday, October 30, 2010

Menjaga Kesehatan Miss ''V''

Organ intim wajib dijaga kebersihan dan kesehatannya.Setiap perubahan abnormal pada vagina bisa menjadi pertanda awal adanya masalah vagina. Perubahan frekuensi buang air kecil, sensasi terbakar pada saat buang air kecil dan vagina mengeluarkan bau serta cairan, merupakan tanda-tanda paling penting dari masalah vagina. Kondisi abnormal vagina secara signifikan mempengaruhi kesehatan reproduksi dan seksual. Untuk itu, dengan selalu menjaga kesehatan dan kebersihan vagina dapat mencegah terjadinya masalah pada vagina. Berikut tips untuk menjaga kesehatan dan kebersihan "area pribadi" anda seperti dilansir dilansir dari Womenhealthzone.

1. Selalu gunakan celana dalam berbahan katun
Katun merupakan kain terbaik yang sesuai untuk semua jenis kulit. Dengan menggunakan celana dalam katun, memungkinkan organ genital untuk menghirup udara segar dan selalu membantunya tetap kering.

2. Hindari hubungan seksual bila Anda mengalami tanda-tanda infeksi vagina
Infeksi vagina biasanya disebabkan oleh ragi (jamur) dan menyebabkan gatal dan sakit di vagina.Infeksi ini terkadang menimbulkan nyeri atau rasa seperti terbakar ketika berkemih atau berhubungan seksual. Untuk menghindari penyebaran dan memperparah infeksi, sebaiknya hindari berhubungan seksual selama gejala infeksi masih terasa.

3. Banyak makan sayur dan buah untuk mencegah infeksi vagina
Selalu menyertakan buah dan sayuran pada menu harian Anda. Sayur dan buah yang kaya serat serta antioksidan tidak hanya membantu mencegah infeksi ragi vagina, tetapi juga membantu menjaga kesehatan tubuh secara keseluruhan.

4. Hindari penggunaan bahan kimia
Usahakan untuk tidak menggunakan produk tertentu seperti sabun deodoran, lotion atau produk kesehatan feminin lain yang dapat menyebabkan iritasi pada organ vagina. Terlebih lagi bila Anda memiliki alergi dengan bahan-bahan kimia.

5. Jangan menggaruk organ intim
Jangan pernah menggaruk bila Anda mengalami gatal atau iritasi pada organ vagina. Cobalah gunakan kain katun lembut dan air hangat untuk membuatnya lebih baik. Hal ini dapat menghindari penyebaran infeksi ke organ lain pada vagina.

6. Jangan gunakan jelly atau minyak berparfum untuk pelumas vagina
Jelly petroleum atau minyak berparfum yang digunakan sebagai pelumas vagina dapat menyebabkan perkembangbiakan bakteri di dalam dan di sekitar vagina.

7. Jaga kebersihan selama menstruasi
Kebersihan pada saat siklus menstruasi sangatlah penting untuk menghindari masalah vagiva. Hindari menggunakan pembalut yang beraroma (parfum) dan mengangdung gel, karena dapat menimbulkan iritasi dan gatal pada vagina.

Selain itu, selalu menjaga daerah vagina tetap bersih dan kering. Ganti pembalut jika terdapat gumpalan darah di atas pembalut, yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan bakteri dan jamur.

8. Basuh vagina dengan air besih dan mengalir
Untuk menghindari masuknya bakteri dan jamur, basuhlah organ intim dengan air bersih dari arah depan ke belakang. Selain itu, selalu gunakan air yang mengalir atau berasal dari kran jika berada di toilet umum.

9. Keringkan setelah buang air kecil atau besar
Setelah Anda selesai buang air kecil atau besar, biasakan selalu mengeringkan organ intim dengan tisu atau handuk. Hal ini dapat menghindari perkembangbiakkan bakteri di dalam dan sekitar vagina. [rps/dtk]


SUMBER : http://www.voa-islam.com/muslimah/health/2010/09/20/10154/menjaga-kesehatan-miss-v/